Salah satu alat musik di Museum Bagh Harandi (photo by OS)
Dari Yazd, saya melanjutkan perjalanan ke Kerman. Salah satu tempat yang saya kunjungi adalah Museum Bagh Harandi. Secara fisik-geografis, Kerman dan Yazd tidak begitu jauh berbeda. Keduanya sama-sama kota tua yang kering dan panas. Karenanya, di sejumlah bagian kota Kerman, kita juga masih melihat beberapa bangunan kuno yang di atapnya bertengger badgir. Orang-orang kaya Kerman zaman dahulu juga (yaitu para pedagang dan penguasa), membangun rumah dengan halaman yang sangat luas.
Sebagian rumah dan kebun kuno itu terawat rapi hingga kini. Kalau di Yazd ada Bagh Dowlat Abad, maka di Kerman kita bisa mendapati Bagh Harandi. Sebagaimana yang tertera di dinding dekat pintu depan bangunan, Bagh Harandi dibangun pada masa kekuasaan Dinasti Qajar (abad XIX).
Bangunan Bagh Harandi yang terlihat sangat rindang itu kini difungsikan oleh pemerintah Iran sebagai museum seni musik dan benda-benda bersejarah. Benda-benda seni ditempatkan di lantai bawah, sedangkan benda-benda bersejarah di tingkat atas.
Seni musik Iran bagi saya sangat mengagumkan. Para seniman Iran setiap saat selalu menampilkan karya-karya seni yang berbobot. Mungkin hal iti disebabkan ketentuan yang diterapkan oleh pemerintah Iran terkait seni musik. Jadi, pembatasan memang ada. Misalnya saja, perempuan dilarang bernyanyi solo. Kemudian, jenis musik-musik yang melenakan (mereka menyebutnya muthrib), yaitu musik-musik yang “diproduksi hanya untuk musik itu sendiri”, dilarang. Akan tetapi, hal itu menurut saya malah memacu para seniman Iran untuk memproduksi musik-musik yang berbobot.
Salah satu karya musik yang membuat saya sangat terkesan adalah sound track serial Imam Ali. Disebutkan bahwa sound track serial tersebut disusun berdasarkan kepada notasi yang dibuat oleh seniman “Maragheh” lebih dari 400 tahun yang lalu. Nada-nada musik Maragheh memang dikenal sebagai karya hebat pada zamannya. Sayangnya, tidak ada yang mengingatnya lagi. Para pecinta seni betul-betul kehilangan jejak. Para seniman Barat mencoba menelusurinya. Tapi mereka gagal.
Kemudian tampillah Farhad Fakhreddini. Ia melakukan penelitian dan kontemplasi secara cermat dan akhirnya berhasil merekonstruksi susunan nada pada musik Maragheh. Nada-nada itulah yang kemudian digunakannya sebagai soundtrack serial Imam Ali. Sulit bagi saya untuk tidak terpukau dengan pilihan nada yang ada pada soundtrack Imam Ali tersebut. Musiknya sangat pas menggambarkan situasi keras dan getirnya kehidupan padang pasir zaman dahulu. Saya meyakini, perkembangan perfilman Iran yang sangat prestisius (film-film Iran selalu menyabet penghargaan dalam berbagai event festival film internasional), turut juga ditopang oleh kemampuan para musisi Iran.
Di Museum Bagh Harandi itulah kita bisa menyaksikan berbagai alat musik nasional dan tradisional suku-suku bangsa Iran dipamerkan. Ada daf, santur, divan, sitar, ney, dll. Nama-nama itu merujuk kepada alat-alat musik yang mirip gendang, kecapi yang dipukul, gambus, dan suling. Ada juga ruangan khusus yang memamerkan alat-alat musik khas dari berbagai negara sekitar Iran (yaitu dari kawasan Teluk dan Asia Selatan).
(Cerita lengkap tentang kunjungan saya ke Kerman dimuat di sini)
0 Responses to “My Travelogue (2): Kerman”